Kamis, 16 Agustus 2012

Renungan Malam

Dec 8, '11 11:22 PM
for Rana's network
Malam kedua pada jam sepuluh malam ketika tirai masing-masing pasien sudah ditutup sehingga aku hanya bisa memastikan apakah ada orang lain yang masuk ke ruangan kamar rumah sakitku atau tidak lewat pantulan lantai putih licin di bawah tirai yang menggantung, aku meneruskan membaca novel “Monk-Super Monk vs Alien Berbelalai Panjang”.

Sejujurnya, aku juga jatuh cinta pada serial tevenya, Monk sebenarnya bukan seorang detektif tetapi dia sangat terkenal karena ahli dalam memecahkan kasus pembunuhan lewat analisisnya yang diluar perkiraan penyelidik lain. Karena kelebihannya itu pihak kepolisian menyewa jasanya untuk membantu mempercepat proses penanganan perkara. Selain itu, Monk terkenal sebagai orang yang super bersih, super perfect (sampai mie pun harus diukur terlebih dahulu,hahahaha), super aneh (sudah mengganti karpet di apartemennya sebanyak lima kali karena noda kopi yang tidak terlihat oleh mata), super serius dan tidak memiliki selera humor sehingga membuat orang-orang di sekitarnya stress menghadapi kelakuannya, terutama asisten pribadinya.

Di episode novel ini si Adrian Monk dibantu kakaknya yang tidak kalah anehnya bernama Ambrose, bahu membahu untuk memecahkan sebuah kasus pembunuhan yang rumit. Tetapi dalam prosesnya, Monk merasa sikap kakaknya kelewat aneh karena telah bergabung di sebuah klub super aneh dan analisis kakaknya sendiri sangat tidak penting sehingga Adrian sampai datang ke dokter pribadinya demi untuk mendapatkan pencerahan agar kakaknya kembali ke jalan yang benar.


“Semua orang butuh untuk menjadi bagian dari sesuatu,” jelas Dr. Kroger. “Aku punya keluarga, teman, dan aku punya pekerjaan. Itulah yang membentukku, memberiku identitas dan naluri memiliki sesuatu atau sense of belonging. Ambrose tidak pernah meninggalkan rumah, jadi hasratnya untuk menjadi bagian dari sesuatu pasti lebih kuat dan lebih sulit untuk diwujudkannya. Aku senang kalau ternyata ia menemukan sesuatu.”

“Menurutmu kenapa Ambrose begitu tertarik dengan Beyond Earth dan penggemarnya itu?” Aku bertanya.

“Fiksi ilmiah adalah genre yang butuh imajinasi tinggi, dan tidak terikat pada realitas atau semua ketetapan yang berlaku pada kehidupan modern. Genre ini memiliki daya tarik yang cukup besar, khususnya pada orang-orang yang karena berbagai macam alasan, termajinalkan atau diasingkan dari masyarakat, khususnya karena ada masalah fisik, mental, atau ketidakmampuan dalam bersosialisasi. Bagi mereka, lebih mudah untuk masuk ke dalam dunia yang kaya akan fantasi, di mana semua menjadi mungkin tidak seperti di dunia yang sebenarnya. Aku tidaklah begitu heran Ambrose jadi seperti itu. Ini bukan hanya sebuah sistem dukungan namun juga bermakna sebagai sebuah tempat pelarian.”
Page 219-220 



Sampai pada kalimat itu, aku berhenti membaca. Mataku meredup. Dan mendadak saja aku merasa sedih. Dalam beberapa hal aku sedikit merasa kalau aku adalah seorang… Ambrose Monk. Tapi bukankah aku masih beruntung karena sesedih-sedihnya perasaanku masih ada orang yang peduli dan kupedulikan?

Kutolehkan kepalaku ke keluarga pasien di sebelah kiriku yang tampak sudah terlelap tidur di bawah tirai yang menggantung, yang telah menganggapku sebagai bagian dari mereka saat mereka butuh untuk didengar.

Selalu ada tawa meski kau dalam keadaan sedih sekali pun. Tuhan Maha Tahu. Tuhan tidak tidur. Tuhan tidak pernah sekejap pun terpejam, kataku dalam hati.

Lalu aku selipkan sebuah pembatas buku pada halaman itu, menutupnya, menaruh di samping tempat tidur, memejamkan mata, dan melanjutkan membacanya lagi esok pagi.


Cerita opname 3-5 Desember 2011



Tidak ada komentar:

Posting Komentar